AL-GHAZALI VS IBNU RUSD
Mengupas pemikiran, kritikan
Al-Ghazali dan Ibnu Rusd
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas matakuliah filsafat yang dibina oleh Bapak DR. Pujiono, M.Ag
Oleh:
Luluk
maknunah
Arif
ahmad ayuni
Haris
wahyudi
Abdus
salam
SKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER
Jember,2012
KATA
PENGANTAR
Sebagai
protes yang di lontarkan oleh Iman Al-ghazali kepada para filsuf sebelumnya,
yang termuat dalam kitab tahafuth al-falasifah. Melahirkan penentangan kepada
Imam Al-ghazali yang dipelopori oleh Ibnu rusyd dengan kitabnya tahafut
al-tahafut. Hal tersebut terjadi karena imam al-Ghazali menentang para
filsuf-filsuf sebelumnya terutama dalam bidang qodimnya alam, tidak
mengetahuinya Tuhan terhadap persoalan kecil, dan pengingkaran terhadap
kebangkitan jasmani. Setelah sekitar sembilan puluh tahun munculnya kitab
tahafut al-falasifah, barulah muncul kitab tahafut al-tahafut yang dibawa oleh
seorang filsuf islam yang ada dibarat
yaitu Ibnu rusyd yang menentang habis-habisan apa-apa yang di gunakan oleh Imam
Al-Ghazali untuk mengkritisi filsuf-filsuf sebelumnya.
Puji
sukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan hidayahnya kepda kita sehingga
bisa merampungkan makalah ini. Dan tak lupa pula saya ucapkan banyak terima
kasih kepada teman-temanku yang telah membantu untuk menyelesaikan makalah
filsafat ini.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................
- Latar belakang .....................................................................................
- Rumusan masalah ................................................................................
- Tujuan ..................................................................................................
BAB
II. PEMBAHASAN ..............................................................................
A.
Al-Ghazali ............................................................................................
1.
Biografi Al-Ghazali .......................................................................
2.
Pemikiran Al-Ghazali .....................................................................
3.
Kritikan Al-Ghazali terhadap para
filsuf .......................................
- Ibnu Rusyd ..........................................................................................
1.
Biografi Ibnu Rusyd ......................................................................
2.
Pemikiran Ibnu Rusyd ...................................................................
3.
Kritikan Ibnu Rusyd terhadap
Al-Ghazali ....................................
BAB III.
PENUTUP .......................................................................................
Kesimpulan
......................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
belakang
Dalam setiap pemikiran manusia tentunya akan berdampak positif dan
negatif bagi manusia lainnya, yang tentunya akan berakibat saling menyerang
antara satu dan yang lainnya. Sebagaimana yang terjadi pada filsuf-filsuf abad
pertengahan yaitu Imam Al-Ghazali, yang mana Imam Al-Ghazali tersebut menyerang
pemikiran-pemikiran filusuf Islam lainnya, seperti Ibnu zina, al-farobi dan
sebagainya. Setelah Imam Al-Ghazali menyerang habis-habisan pemikiran para
filsuf islam lainnya, barulah muncul kemudian Ibnu Rusd yang mengkritiki
Pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali. Hal itulah nantinya yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu berupa Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusd
serta kritikan-kritikan keduanya.
2.
Rumusan
masalah
Biografi, pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusd serta
kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh keduanya.
3.
Tujuan
Dapat
memahami biografi, pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusd serta
kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh Imam Al-Ghazali pada para filusuf islam
lainnya dan kritikan Ibnu Rusd terhadap Al-Ghazali.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Ghazali
1.
Biografi
Al-Ghazali
Al-Ghazali, nama
lengkapnya AbuHamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thusi al-Ghazali,
lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/ 1058 M, dari ayah seorang
penenun wool (ghazzal) sehingga dijuluki al-ghazali. Pendidikan
awalnya di Thus, lalu di jurjan, dalam bidang hokum (fiqh) di bawah bimbingan
Abu Nashr al-Ismaili. Pada usia 20
tahun, ia pergi ke Nisabur untuk mendalami fiqh dan teologi pada al-Juwaini
(1085 M) yang kemudian menjadi asisten gurunya sampai sang guru wafat.
Pada
tahun 1091, al-Ghazali diundang oleh Nidzm al-Mulk (1092 M) untuk menjadi guru
besar di Nidzamiyah, Baghdad. Di sini ia menuntaskan studinya tentang teologi,
filsafat, ta’limiyah dan tasawuf, dan merupakan periode penulisan paling
produktif.
Pada tahun 1110 M, ia kembali ke
Thus. Di Thus ia mendirikan madrasah dan sebuah khanaqah (biara sufi)
bagi para penulis. Di sini ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama
dan guru sufi di samping mencurahkan diri dalam peningkatan spiritual.
Al-Ghazali meninggal pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M, di Thus, pada usia 53
tahun.
2.
Pemikiran
al-ghazali
a.
Tasawuf
Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang
haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia berusaha sekeras mungkin agar dapat
mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Sehingga
senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya
kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan
pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan
inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan pada kitab
Al-Mungidz yaitu:
Sikap sekeptis yang menimpa diriku
dan yang berlangsung lama, telah
berakhir dengan suatu keadaan, di mana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan
keragu-raguan in semakin mendalam, dengan perkataannya: “bagaimana pengetahuan
inderawi itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi yang
terkuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam, tidak bergerak.
Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat, engkau melihat
bahwa bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan
berlahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan
itu tidak mengenal diam. Demikian pula ketika engkau melihat bintang, maka
dikira ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya menunjukkan
bahwa bintang itu lebih besar daripada bumi”.
b.
Filsafat
metafisika
ü Iradat tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia,
Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini berasal dari iradat (kemauan) Tuhan
semata-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
c.
Etika
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan
rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub) terhadap Tuhan.
Sesuai dengan peringsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat
(kebaikan) bagi sekalian alam. Kebaikan tersebar dimana-mana, jugak dalam
materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
3.
Kritikan
Al-Ghazali terhadap para filusuf
Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya
jugak ibnu Sina, dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting ialah:
a.
Al-Ghazali
menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia.
Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada
menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
b.
Al-Ghazali
menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia
berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata.
Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya.
Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan
oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan.
c.
Al-Ghazali
menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang
besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (juz’iyat).
d.
Al-Ghazali
juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian
hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum
itu. bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat
itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian.
Dari kedua
puluh tersebut ada tiga masalah yang sampai dikafirkan oleh Al-Ghazali yaitu:
Ø Qadimnya alam.
Ø Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal
kecil. dan
Ø Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
ü Qadimnya alam
Filosuf-filosuf
mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya
illat atas ma’lulnya (sebab atas akibat), yaitu dari zat dan tingkatan. Jugak
dari segi zaman. Alasan yang pertama adalah tidak mungkin wujud yang dulu,
yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan) sebab dengan demikian berarti kita
bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedang alam belum ada.
Jawaban Al-Ghazali
ialah bahwa arti kehendak (iradadt) ialah yang memungkinkan untuk membedakan
sesuatu dari yang lainnya. Kehendak Tuhan adalah mutlak, artinya Dia bisa
memilih waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena
sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau masih ditanyakan
sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas, tidak lagi bebas, sedangkan
kehendak itu bersifat bebas mutlak.
Alasan yang kedua
Tuhan lebih dulu dari pada alam, bukan dari segi zaman, melainkan dari segi
pribadi (tingkatan, zat) seperti lebih dahulunya bilangan 1 atas 2, atau dari
segi kausalitas, seperti lebih dahulunya gerakan seseorang daripada gerakan
bayangannya, sedangkan kedua gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai atau
sama-sama berhentinya. Artinya sama dari segi zaman.
Jawaban Al-Ghazali
perkataan Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan zaman ialah bahwa Tuhan
sudah ada sendirian, sedangkan alam belum lagi ada, kemudian Tuhan ada
bersama-sama alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang
sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan
kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu
membayangkan ada zat (wujud) yang ketiga yaitu zaman, apabila diingat bahwa apa
yang dimaksud dengan zaman ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa
sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum ada zaman.
ü Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal
kecil.
Golongan filosuf
berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil,
kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan
segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang
diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan
perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau
sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat
Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).
Jawaban Al-Ghazali, kalau terjadi perubahan pada
tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa,
sebagaimana halnya kalau ada orang yang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian
ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan
kita. lagi pula kalau perubahan ilmu biasa menimbulkan suatu perubahan pada zat
(diri) yang mengetahui sebagaimana yang dipanggil oleh golongan filosof, apakah
mereka akan mengatakan bahwa berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada
zat Tuhan ? sebab objek ilmu itu banyak, seperti manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, sifat yang tidak ada batas hitungnya, yang berarti juga ilmu
itu banyak. Akan tetapi, bagaimana ilmu-ilmu yang banyak itu tertampung dalam
ilmu yang satu, kemudian ilmu ini juga adalah zat-Nya yang mengetahui sendiri,
bukan sebagai tambahan pada-Nya.
ü Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Menurut
tinjauan filosuf-filosuf dari segi pikiran, alam akhirat adalah alam
kerohanian, bukan alam material (alam kebendaan), sebab perkara kerohanian itu
lebih tinggi nilainya. Oleh karena itu, menurut mereka pikiran tidak
mengherankan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga
atau neraka serta segala isinya.
Jawaban
Al-Ghazali, dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati
(berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri.
Pendirian ini tidak berlawanan dengan syara’, bahkan ditunjukkan seperti yang
disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 169:
“jangan engkau kira bahwa mereka yang
terbunuh pada jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya,
mendapat rizki dan gembira”. (Qs. Ali-Imran: 169).
Jugak disebutkan dalam hadist-hadist, antara
lain yang menyatakan bahwa roh-roh itu merasakan adanya kebaikan dan pemberian
sedekah, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, siksa kubur, dan hadits-hadits
lain yang semuanya menunjukkan adanya keabadian.
B.
Ibnu Rusyd
1.
Biografi Ibnu
Rusyd
Abu-al-walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Ia berasal dari keluarga terpelajar dan
terpandang yang dikenal dengan Banu rusyd, ia lahir di Cordoba (Qurthuba)
pada tahun 520 H/ 1126 M, atau sekitar 15 tahun setelah Al-Ghazali wafat.
Latar
belakang keluarga yang terpandang dan terpelajar itu sangat berpengaruh dan
mendukung bagi minat mempelajari dan kedekatannya kepada berbagai bidang
keilmuan yang tumbuh pada masanya, sehingga ia mendalami berbagai disiplin
seperti ilmu Kalam, Fiqih, Tafsir al-quran, Hadits, Bahasa dan Sastra Arab, di
samping Matematika, Fisika, Astronomi, Kedokteran, Filsafat, dan Logika.
Ia wafat di Maroko pada tanggal 9
Shafar 595 / 10 Desember 1198, dan jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya,
Andalusia.
2.
Pemikiran
Ibnu Rusyd
v Jalan menuju pengetahuan
Berdasarkan
tindakan-tindakannya, Ibn Rusyd membagi jiwa rasional, yakni akal sebagai alat
untuk mendapatkan pengetahuan, dalam lima bagian, nutritive, sensitive,
imajinatif, apetitif, kognitif (berpikir dan mengerti). Manusia memperoleh
pengetahuan lewar rasionya, yang membawanya pada pengetahuan tertentu maupun
universal, di samping juga menggunakan perasaan dan imajinasi.
v Pengetahuan menuju Tuhan
Berdasarkan
penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an, Ibnu Rusyd menwarkan dua cara yang tepat
untuk mencapai Tuhan, dan kedua cara ini bisa diikuti masyarakat awam maupun
terpelajar. Yang pertama bersifat teologis yang disebut dalil ikhtira’,
yang kedua bersifat kosmologis yang disebut dali inayah. Dalil ikhtira’
menyatakan bahwa semesta yang rapi dan teratur ini tidak muncul dengan
sendirinya tetapi pasti ada yang menciptakan. Begitu seterusnya sampai pada
pencipta terakhir yang tidak tercipta. Dalil inayah menyatakan bahwa tata
kehidupan semesta ini, pergantian siang dan malam, adanya binatang dan
tumbuhan, ternyata sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan manusia. Ini tentu
tidak terjadi secara kebetulan karena tidak terjadi hanya beberapa kali tetapi
secara konstan, sehingga pasti ada yang mengendalikan dan mengaturnya, ada yang
merencanakan secara detail dan mewujudkannya demi kepentingan manusia.
3.
Kritikan Ibnu
Rusyd terhadap Imam Al-Ghazali
Imam
Al-Ghazali dalam Tahafutu al-falasifah telah menyatakan kekafiran kepada para
filosuf disebabkan tiga hal yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah
qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juziyyat)
dan interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta
kehidupannya sesudah mati.
ü Pengetahuan Tuhan tentang Juziyyat
Menanggapi pernyataan Al-Ghazali Ibnu
Rusyd berkomentar: yang nampak secara lahir apa yang dikatakannya (Al-Ghazali),
bahwa pengkafiran terhadap para pilosuf tu tidaklah definitif, sebab ia
menjelaskan dalam At Tafriyah bahwa mengkafirkan orang lain karena telah
melanggar ijma hanya mengandung sifat tentitif belaka.
Anggapan
Al-Ghazali bahwa para filosuf berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak
mengetahui juziyyat (segi-segi bagian yang terjadi di dunia) adalah keliru.
Karena sebenarnya para filosuf berpendapat bahwa Allah mengetahui jiziyyat
hanya dengan cara yang berbeda dengan cara kita mengetahui juziyyat. Sebab
pengetahuan kita tentang juziyyat itu adalah efek dari obyek yang telah
diketahuinya, yang efek itu tercipta bersama terciptanya obyek tersebut, serta
berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Allah tentang apa yang ada
ini adalah kebalikannya. Pengetahuan-Nya itu merupakan sebab bagi obyek yang
diketahui-Nya yakni segala wujud ini.
ü Kebangkita jasmani
Menurut Al-Ghazali, salah satu unsur
yang menyebabkan orang menjadi kafir adalah karena mengingkari adanya
kebangkitan jasmnai di akhirat kelak.
Ibnu
Rusd menyangkal pendapat Al-Ghazali itu, karena kebangkitan jasmani telah
tersiar kurang lebih seribu tahun yang lalu (dari masanya), sedang usia
filsafat kurang dari masa itu, di mana orang yang pertama-tama mengatakan
adanya kebangkitan jasmani ialah nabi-nabi Bani Israel yang datang sesudah nabi
Musa as. Sebagaimana yang di dalam kitab Zabur, dan kitab-kitab lainnya dari
Bani Israel. Juga Injil telah menyebutkan adanya kebangkitan jasmani.
Menurut
Ibnu Rusyd, apa yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam menangkis para filosuf
adalah baik sekali. Namun dalam tangkisan itu jiwa harus diperkirakan tidak
mati (tetap hidup), seperti yang ditunjukkan oleh dalil-dalil pikiran dan
syara’, juga harus diperkirakan bahwa yang akan kembali di akhirat nanti adalah
seperti perkara yang terdapat di dalam dunia bukan perkaranya itu sendiri,
karena perkara yang telah hilang itu sendiri tidak akan kembali, seperti
pendapat Al-Ghazali sendiri. Dengan demikian pengkafiran dalam masalah
kebangkitan jasmani tidak beralasan, karena masalah ini bagi para filosuf
adalah persoalan teori.
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
Dalam filsafat Al-Ghazali yang banyak
mengkritik pendapat para filosuf sebelumnya, yang sampai dikatakan kafir oleh Imam Al-Ghazali dalam Tahafutu al-falasifahnya disebabkan tiga
hal yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah qadim (ada tanpa permulaan),
Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juziyyat) dan interpretasi mereka
tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati.
Keritikan tersebut menurut Ibnu Rusy bahwa pengkafiran terhadap para pilosuf itu
tidaklah definitif, sebab ia menjelaskan dalam At Tafriyah bahwa mengkafirkan
orang lain karena telah melanggar ijma hanya mengandung sifat tentitif belaka.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Mustofa, A.
1997. Filsafat islam. Bandung: cv. Pustaka setia.
2.
Soleh,
khudori. 2004. Wacana baru filsafat islam. Yogyakarta: pustaka pelajar.
3.
Elhady,
aminullah. 2008. problem metafisika dalam filsafat Ibnu Rusyd. Yogyakarta:
center for society studies.