Jumat, 20 April 2012

Tidak Menjadi Murtad, Orang Bilang “Al-quran Bukan Firman Tuhan dan Nabi Muhammad Bukan Utusan Tuhan”


Tidak Menjadi Murtad, Orang Bilang “Al-quran Bukan Firman Tuhan dan Nabi Muhammad Bukan Utusan Tuhan”

Melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, merupakan suatu hal yang menjadi benang merah bagi manusia yang beragama dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Ny a inilah yang tidak ada ujung pangkalnya untuk selalu dibahas karena merupaan suatu jalan menuju singgasana yang abadi, yang nantinya diharapkan dapat membawa kepada kehidupan yang damai dan sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut tentunya tidak  dapat dihindari pula suatu problem yang menjadi permasalahan yang harus dijawab oleh setiap ummat beragama; Apakah ketika menjauhi semua larangannya Allah dapat membuat dirikita dapat memperoleh hidayah-nya. . . .  . ? atau ketika mengerjakan semua larangannya dapat membuat dirikita menjadi seseorang yang  dilaknat-nya. .. . .? sehingga menjadi suatu permasalahan yang tidak ada habis-habisnya, antara satu aliran dengan aliran yang lain, yang pada ujung-ujungnya saling menyalahkan dan saling mengkafirkan .
Dalam kehidupan  didunia ini, banyak berbagai kreativitas manusia yang menghiasi perjalanan hidup menuju kehidupan yang abadi, berbagai aktivitas dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai bekal di akhirat nanti, yang diharapkan mendapatkan suatu hidayah dalam menjalankan kehidupan didunia ini hingga akhirat nanti, dengan mempungsikan segala potensi yang ada dalam diri manusia tersebut.
Dalam jiwa ini terdapat sesuatu yang sangat berperan dalam kehidupan, yang dapat membawa kita bisa berperilaku menuju pada kehidupan yang lebih mulia dan juga dapat membawa dirikita kepada perilaku yang menyesatkan.
Menurut Al-syaibani (1979:130) manusia mempunyai tiga kekuatan atau potensi yang sama pentingnya, laksana sebuah segitiga yang sisinya sama panjang. Potensi yang dimaksud ialah jasmani, akal, dan roh. Kemajuan ke bahagiaan, dan kesempurnaan kepribadiaan manusia banyak bergantung pada keselarasan ketiga potensi itu. Islam, menurut Al-syaibani, tidak hanya mengakui adanya ketiga potensi tersebut, tetapi juga meneguhkannya dan memantapkan wujudnya. Manusia bukan hanya jasmani (corporeal), bukan hanya akal dan bukan hanya roh. Manusia adalah ksesatuan semua itu yang saling melengkapi kesempurnaan manusia (Ahmad tafsir ,2008:251)
Potensi-potensi tersebut mempunyai ruang lingkup yang berbeda, antara jasmani yang berupa indera, akal, dan jugak hati (suara hati). Indera misalnya, ini berfungsi untuk menangkap sesuatu yang bersifat empiris bagi manusia.  Ketika ingin mengetahui rasa madu misalnya, maka tinggal mencicipi saja apakah manis atau tidak, dan setelah dicicipi ternyata rasa madu tersebut manis. Ketika masih dipertanyakan “mengapa madu tersebut manis”, ini bukan wilayah indera lagi untuk menjawabnya, tetapi wilayah akal. Akal menjawab “madu manis itu karena ada suatu zat-zat tertentu yang terdapat  di dalamnya”. Jawaban akal tersebut masih menimbulkan pertanyaan lagi “dari mana zat-zat tersebut yang terdapat dalam madu tersebut” ini merupakan suatu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh akal, untuk menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh akal inilah yang menggunakan potensi yang ketiga yaitu hati.
Potensi-potensi yang paling banyak berperan dalam diri manusia adalah akal, apalagi dalam masalah urusan Agama yang banyak digunakan untuk menafsirkan, menilai kitap-kitab suci, yang pada akhirnya banyak menimbulkan perpecahan antara umat beragama , yang mana hal tersebut  seharusnya tidak dijadikan suatu perpecahan antara satu golongan dengan golongan yang lain, justru dijadikan suatu sarana untuk lebih memahami maksud dan tujuan kitab-kitab suci tersebut. Dalam hal ini saya mengatakan, orang tidak menjadi murtad apabila mengatakan Al-quran bukan firman tuhan dan jugak Nabi bukan utusan tuhan, apa bila hal tersebut dari hasil produk pikiran kita tanpa diyakini dengan hati, Karena sifat akal tersebuk dinamis yang senantiasa berubah-ubah, dan jugak ukuran iman seseorang terdapat dalam hatinya, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Swt:
يَأَيُّهَاالرَّسُوْلُ لاَيَحْزُنكَ الَّذِيْنَ يُسَرِعُوْنَ فِى الْكُفْرِمِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْاءَامَنَّابِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤمِن قُلُوْبُهُمْ . . . . . . .(المائدة :٤١)
Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman… . . . . . . . . . . . . . (Al-maa’idah: 41).
. . . . . . . . . . . . وَاللهُ عَلِيْمٌ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ (ال عمران:۱۵٤)
Allah maha pengetahui isi hati (ali-imran: 154).
اِلَهُكُم إِلَهُ وَّاحِدٌ فَالَّذِينَ لاَيُؤمِنُونَ بِالاَّخِرَةِ قُلُوْبُهُمْ مُنْكِرَةٌ وَهُمْ مُستَكْبِرُوْنَ (النحل :٢٢)
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong (An-nahl :22).
Ayat-ayat yang serupa mengenai keterangan tersebu masih banyak, sebagai mana yang terdapat dalam surat Al-baqarah:7, Al-munafiquun:3, Al-a’raaf: 93,101, Al-hajj:54, Ar-ruum:30, Ali-imran: 119, huud:5, Al-hadid:5, Asy-syuuro:24, Faathir:38, Luqman:23, Al-anfaal:43, Al-maa’idah:7, Al-mulk:13, At-taghaabun:4.

AL-GHAZALI VS IBNU RUSD


AL-GHAZALI VS IBNU RUSD
Mengupas pemikiran, kritikan Al-Ghazali dan Ibnu Rusd
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah filsafat yang dibina oleh Bapak DR. Pujiono, M.Ag




Oleh:
Luluk maknunah
Arif ahmad ayuni
Haris wahyudi
Abdus salam


SKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER

Jember,2012




KATA PENGANTAR
Sebagai protes yang di lontarkan oleh Iman Al-ghazali kepada para filsuf sebelumnya, yang termuat dalam kitab tahafuth al-falasifah. Melahirkan penentangan kepada Imam Al-ghazali yang dipelopori oleh Ibnu rusyd dengan kitabnya tahafut al-tahafut. Hal tersebut terjadi karena imam al-Ghazali menentang para filsuf-filsuf sebelumnya terutama dalam bidang qodimnya alam, tidak mengetahuinya Tuhan terhadap persoalan kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani. Setelah sekitar sembilan puluh tahun munculnya kitab tahafut al-falasifah, barulah muncul kitab tahafut al-tahafut yang dibawa oleh seorang  filsuf islam yang ada dibarat yaitu Ibnu rusyd yang menentang habis-habisan apa-apa yang di gunakan oleh Imam Al-Ghazali untuk mengkritisi filsuf-filsuf sebelumnya.
Puji sukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan hidayahnya kepda kita sehingga bisa merampungkan makalah ini. Dan tak lupa pula saya ucapkan banyak terima kasih kepada teman-temanku yang telah membantu untuk menyelesaikan makalah filsafat ini.










DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ....................................................................................  ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................  iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................
  1. Latar belakang .....................................................................................
  2. Rumusan masalah ................................................................................
  3. Tujuan ..................................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN ..............................................................................
A.    Al-Ghazali ............................................................................................
1.      Biografi Al-Ghazali .......................................................................
2.      Pemikiran Al-Ghazali .....................................................................
3.      Kritikan Al-Ghazali terhadap para filsuf .......................................
  1. Ibnu Rusyd ..........................................................................................
1.      Biografi Ibnu Rusyd ......................................................................
2.      Pemikiran Ibnu Rusyd ...................................................................
3.      Kritikan Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali ....................................

BAB III. PENUTUP .......................................................................................
Kesimpulan ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
           









BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
Dalam setiap pemikiran manusia tentunya akan berdampak positif dan negatif bagi manusia lainnya, yang tentunya akan berakibat saling menyerang antara satu dan yang lainnya. Sebagaimana yang terjadi pada filsuf-filsuf abad pertengahan yaitu Imam Al-Ghazali, yang mana Imam Al-Ghazali tersebut menyerang pemikiran-pemikiran filusuf Islam lainnya, seperti Ibnu zina, al-farobi dan sebagainya. Setelah Imam Al-Ghazali menyerang habis-habisan pemikiran para filsuf islam lainnya, barulah muncul kemudian Ibnu Rusd yang mengkritiki Pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali. Hal itulah nantinya yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu berupa Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusd serta kritikan-kritikan keduanya.

2.      Rumusan masalah
Biografi, pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusd serta kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh keduanya.

3.      Tujuan
Dapat memahami biografi, pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusd serta kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh Imam Al-Ghazali pada para filusuf islam lainnya dan kritikan Ibnu Rusd terhadap Al-Ghazali.












BAB II
PEMBAHASAN

A.      Al-Ghazali
1.      Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali, nama lengkapnya AbuHamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thusi al-Ghazali, lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/ 1058 M, dari ayah seorang penenun wool (ghazzal) sehingga dijuluki al-ghazali. Pendidikan awalnya di Thus, lalu di jurjan, dalam bidang hokum (fiqh) di bawah bimbingan Abu Nashr al-Ismaili.  Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk mendalami fiqh dan teologi pada al-Juwaini (1085 M) yang kemudian menjadi asisten gurunya sampai sang guru wafat.
            Pada tahun 1091, al-Ghazali diundang oleh Nidzm al-Mulk (1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidzamiyah, Baghdad. Di sini ia menuntaskan studinya tentang teologi, filsafat, ta’limiyah dan tasawuf, dan merupakan periode penulisan paling produktif.
            Pada tahun 1110 M, ia kembali ke Thus. Di Thus ia mendirikan madrasah dan sebuah khanaqah (biara sufi) bagi para penulis. Di sini ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama dan guru sufi di samping mencurahkan diri dalam peningkatan spiritual. Al-Ghazali meninggal pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M, di Thus, pada usia 53 tahun[1].

2.      Pemikiran al-ghazali
a.    Tasawuf
Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Sehingga senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan pada kitab Al-Mungidz yaitu:
Sikap sekeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung  lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, di mana diriku tidak mempercayai  kepada pengetahuan inderawi, bahkan keragu-raguan in semakin mendalam, dengan perkataannya: “bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat, engkau melihat bahwa bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan berlahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Demikian pula ketika engkau melihat bintang, maka dikira ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya menunjukkan bahwa bintang itu lebih besar daripada bumi”[2].
b.    Filsafat metafisika
ü  Iradat tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya[3].
c.    Etika
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarub) terhadap Tuhan.
Sesuai dengan peringsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Kebaikan tersebar dimana-mana, jugak dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan[4].

3.      Kritikan Al-Ghazali terhadap para filusuf
Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya jugak ibnu Sina, dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting ialah:
a.       Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
b.      Al-Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan.
c.       Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (juz’iyat).
d.      Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian[5].
Dari kedua puluh tersebut ada tiga masalah yang sampai dikafirkan oleh Al-Ghazali yaitu:
Ø  Qadimnya alam.
Ø  Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal kecil. dan
Ø  Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
ü  Qadimnya alam
Filosuf-filosuf mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (sebab atas akibat), yaitu dari zat dan tingkatan. Jugak dari segi zaman. Alasan yang pertama adalah tidak mungkin wujud yang dulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan) sebab dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedang alam belum ada[6].
Jawaban Al-Ghazali ialah bahwa arti kehendak (iradadt) ialah yang memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari yang lainnya. Kehendak Tuhan adalah mutlak, artinya Dia bisa memilih waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau masih ditanyakan sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas, tidak lagi bebas, sedangkan kehendak itu bersifat bebas mutlak[7].
Alasan yang kedua Tuhan lebih dulu dari pada alam, bukan dari segi zaman, melainkan dari segi pribadi (tingkatan, zat) seperti lebih dahulunya bilangan 1 atas 2, atau dari segi kausalitas, seperti lebih dahulunya gerakan seseorang daripada gerakan bayangannya, sedangkan kedua gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai atau sama-sama berhentinya. Artinya sama dari segi zaman[8].
Jawaban Al-Ghazali perkataan Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan zaman ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum lagi ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian,  yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu membayangkan ada zat (wujud) yang ketiga yaitu zaman, apabila diingat bahwa apa yang dimaksud dengan zaman ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum ada zaman[9].

ü  Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal kecil.
Golongan filosuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil)[10].
     Jawaban  Al-Ghazali, kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang yang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. lagi pula kalau perubahan ilmu biasa menimbulkan suatu perubahan pada zat (diri) yang mengetahui sebagaimana yang dipanggil oleh golongan filosof, apakah mereka akan mengatakan bahwa berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat Tuhan ? sebab objek ilmu itu banyak, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, sifat yang tidak ada batas hitungnya, yang berarti juga ilmu itu banyak. Akan tetapi, bagaimana ilmu-ilmu yang banyak itu tertampung dalam ilmu yang satu, kemudian ilmu ini juga adalah zat-Nya yang mengetahui sendiri, bukan sebagai tambahan pada-Nya[11].

ü  Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Menurut tinjauan filosuf-filosuf dari segi pikiran, alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam material (alam kebendaan), sebab perkara kerohanian itu lebih tinggi nilainya. Oleh karena itu, menurut mereka pikiran tidak mengherankan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya[12].
     Jawaban Al-Ghazali, dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian ini tidak berlawanan dengan syara’, bahkan ditunjukkan seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 169:
“jangan engkau kira bahwa mereka yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya, mendapat rizki dan gembira”. (Qs. Ali-Imran: 169).
Jugak disebutkan dalam hadist-hadist, antara lain yang menyatakan bahwa roh-roh itu merasakan adanya kebaikan dan pemberian sedekah, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, siksa kubur, dan hadits-hadits lain yang semuanya menunjukkan adanya keabadian[13].


B.       Ibnu Rusyd
1.      Biografi Ibnu Rusyd
Abu-al-walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Ia berasal dari keluarga terpelajar dan terpandang yang dikenal dengan Banu rusyd, ia lahir di Cordoba (Qurthuba) pada tahun 520 H/ 1126 M, atau sekitar 15 tahun setelah Al-Ghazali wafat.
            Latar belakang keluarga yang terpandang dan terpelajar itu sangat berpengaruh dan mendukung bagi minat mempelajari dan kedekatannya kepada berbagai bidang keilmuan yang tumbuh pada masanya, sehingga ia mendalami berbagai disiplin seperti ilmu Kalam, Fiqih, Tafsir al-quran, Hadits, Bahasa dan Sastra Arab, di samping Matematika, Fisika, Astronomi, Kedokteran, Filsafat, dan Logika.
            Ia wafat di Maroko pada tanggal 9 Shafar 595 / 10 Desember 1198, dan jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya, Andalusia[14].
2.      Pemikiran Ibnu Rusyd
v  Jalan menuju pengetahuan
Berdasarkan tindakan-tindakannya, Ibn Rusyd membagi jiwa rasional, yakni akal sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan, dalam lima bagian, nutritive, sensitive, imajinatif, apetitif, kognitif (berpikir dan mengerti). Manusia memperoleh pengetahuan lewar rasionya, yang membawanya pada pengetahuan tertentu maupun universal, di samping juga menggunakan perasaan dan imajinasi[15].
v  Pengetahuan menuju Tuhan
Berdasarkan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an, Ibnu Rusyd menwarkan dua cara yang tepat untuk mencapai Tuhan, dan kedua cara ini bisa diikuti masyarakat awam maupun terpelajar. Yang pertama bersifat teologis yang disebut dalil ikhtira’, yang kedua bersifat kosmologis yang disebut dali inayah. Dalil ikhtira’ menyatakan bahwa semesta yang rapi dan teratur ini tidak muncul dengan sendirinya tetapi pasti ada yang menciptakan. Begitu seterusnya sampai pada pencipta terakhir yang tidak tercipta. Dalil inayah menyatakan bahwa tata kehidupan semesta ini, pergantian siang dan malam, adanya binatang dan tumbuhan, ternyata sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan manusia. Ini tentu tidak terjadi secara kebetulan karena tidak terjadi hanya beberapa kali tetapi secara konstan, sehingga pasti ada yang mengendalikan dan mengaturnya, ada yang merencanakan secara detail dan mewujudkannya demi kepentingan manusia[16].

3.      Kritikan Ibnu Rusyd terhadap Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dalam Tahafutu al-falasifah telah menyatakan kekafiran kepada para filosuf disebabkan tiga hal yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juziyyat) dan interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati.
ü  Pengetahuan Tuhan tentang Juziyyat
Menanggapi pernyataan Al-Ghazali Ibnu Rusyd berkomentar: yang nampak secara lahir apa yang dikatakannya (Al-Ghazali), bahwa pengkafiran terhadap para pilosuf tu tidaklah definitif, sebab ia menjelaskan dalam At Tafriyah bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma hanya mengandung sifat tentitif belaka.
                        Anggapan Al-Ghazali bahwa para filosuf berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak mengetahui juziyyat (segi-segi bagian yang terjadi di dunia) adalah keliru. Karena sebenarnya para filosuf berpendapat bahwa Allah mengetahui jiziyyat hanya dengan cara yang berbeda dengan cara kita mengetahui juziyyat. Sebab pengetahuan kita tentang juziyyat itu adalah efek dari obyek yang telah diketahuinya, yang efek itu tercipta bersama terciptanya obyek tersebut, serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Allah tentang apa yang ada ini adalah kebalikannya. Pengetahuan-Nya itu merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya yakni segala wujud ini[17].
ü  Kebangkita jasmani
Menurut Al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebabkan orang menjadi kafir adalah karena mengingkari adanya kebangkitan jasmnai di akhirat kelak.
                        Ibnu Rusd menyangkal pendapat Al-Ghazali itu, karena kebangkitan jasmani telah tersiar kurang lebih seribu tahun yang lalu (dari masanya), sedang usia filsafat kurang dari masa itu, di mana orang yang pertama-tama mengatakan adanya kebangkitan jasmani ialah nabi-nabi Bani Israel yang datang sesudah nabi Musa as. Sebagaimana yang di dalam kitab Zabur, dan kitab-kitab lainnya dari Bani Israel. Juga Injil telah menyebutkan adanya kebangkitan jasmani.
                        Menurut Ibnu Rusyd, apa yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam menangkis para filosuf adalah baik sekali. Namun dalam tangkisan itu jiwa harus diperkirakan tidak mati (tetap hidup), seperti yang ditunjukkan oleh dalil-dalil pikiran dan syara’, juga harus diperkirakan bahwa yang akan kembali di akhirat nanti adalah seperti perkara yang terdapat di dalam dunia bukan perkaranya itu sendiri, karena perkara yang telah hilang itu sendiri tidak akan kembali, seperti pendapat Al-Ghazali sendiri. Dengan demikian pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan, karena masalah ini bagi para filosuf adalah persoalan teori[18].


























BAB III PENUTUP

  1. Kesimpulan
Dalam filsafat Al-Ghazali yang banyak mengkritik pendapat para filosuf sebelumnya, yang sampai dikatakan  kafir oleh Imam Al-Ghazali  dalam Tahafutu al-falasifahnya disebabkan tiga hal yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juziyyat) dan interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati. Keritikan tersebut menurut Ibnu Rusy bahwa pengkafiran terhadap para pilosuf itu tidaklah definitif, sebab ia menjelaskan dalam At Tafriyah bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma hanya mengandung sifat tentitif belaka.



















DAFTAR PUSTAKA



1.      Mustofa, A. 1997. Filsafat islam. Bandung: cv. Pustaka setia.
2.      Soleh, khudori. 2004. Wacana baru filsafat islam. Yogyakarta: pustaka pelajar.
3.      Elhady, aminullah. 2008. problem metafisika dalam filsafat Ibnu Rusyd. Yogyakarta: center for society studies.














[1] Khudori sholeh, wacana baru filsafat islam (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2004), 82.
[2] A. Mustofa, filsafat islam (Bandung: cv. Pustaka seita, 1997), 225.
[3] Ibid. A. Mustofa, 229.
[4] Ibid, A.Mustofa. 241
[5] Ibid, A.Mustofa. 228
[6] Ibid, A.Mustofa. 230
[7] Ibid, A.Mustofa. 231
[8] Ibid, A.Mustofa. 232
[9] Ibid, A.Mustofa. 232
[10] Ibid, A.Mustofa. 235
[11] Ibid, A. Mustofa. 236
[12] Ibid, A.Mustofa. 237
[13] ibid, A.Mustofa. 239
[14] Aminullah Elhady, problem metafisika dalam filsafat ibnu rusyd (yogyakarta: center for cociety studies, 2008), 16.
[15] Ibid. Aminullah elhady. 101.
[16] Ibid. Aminullah elhady. 109.
[17]  Op.cit A.Mustofa. 294.
[18] Op.cit. A. Mustofa. 303.